Seperti
yang kita ketahui bahwa Indonesia yang terkenal di dunia sebagai bangsa
yang menjunjung tinggi pluralisme. Terdiri dari beraneka ragam agama,
bahasa, budaya, dan suku bangsa. Sehingga apa yang kita miliki dari
sabang sampai merauke adalah berbagai macam keanekaragaman yang
merupakan kekayaan dari bangsa kita. Namun dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia, keragaman bukanlah dilihat sebagai kekayaan
oleh sebagian besar rakyat indonesia, melainkan sebagai suatu kekurangan
dan suatu hal yang harus dihapuskan.
Meskipun
banyak dari masyarakat Indonesia yang mengakui bahwa keragaman budaya
adalah suatu warisan yang harus dilestarikan, namun pada kenyataannya
hal tersebut tidak lebih dari sesuatu yang kosong. Hal ini dapat kita
lihat dari banyaknya kerusuhan dan perang antar suku, ras, maupun agama
yang terjadi di Indonesia. Seperti contohnya adalah kerusuhan Sampit
oleh suku Dayak dan Madura yang menyebabkan jatuhnya banyak korban. Dan
tidak kalah sadisnya, perempuan dan anak-anak pun dibantai tanpa belas
kasihan. Kerusuhan Mei 1998 yang terjadi 12 tahun yang lalu juga
menggambarkan betapa rendahnya sikap toleransi yang dimiliki oleh
masyarakat Indonesia. Dan masih ada banyak lagi kerusuhan yang terjadi
di Indonesia seperti kerusuhan di Poso, Maluku, sampai pengeboman yang
terjadi akhir-akhir ini oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Coba bayangkan, betapa diuntungkannya Indonesia apabila masyarakat di
Negara ini memiliki rasa tanggung jawab dan sikap saling menghargai satu
sama lain. Berapa banyak lapangan kerja yang akan tercipta bila saja
Legian Bali tidak dibom? Bali sebagai povinsi yang terkenal akan
pariwisatanya akan terus berkembang dengan pesat tanpa kekhawatiran para
turis tentang kerusuhan yang akan terjadi. berapa banyak keuntungan
yang didapat bila saja MU jadi dating ke Indonesia. Bukan hanya
keuntungan dalam bentuk nominal, namun juga terciptanya hubungan yang
baik dengan dunia internasional. Dan situasi yang aman dan harmonis akan
menarik perhatian para investor-investor asing untuk bebas berinvestasi
di Indonesia. Bayangkan betapa majunya Indonesia bila keamanan nasional
bisa dipertahankan. Mungkin saja Indonesia sudah bisa bangkit dari
keterpurukan dan krisis ekonomi yang membelenggunya sampai saat ini.
Krisis
toleransi ini bukan hanya dimiliki oleh orang tua saja, namun kini
krisis ini lebih banyak dimiliki oleh anak-anak muda. Di mana anak-anak
muda lebih cenderung labil dan mudah terhasut oleh lingkungan
sekitarnya. Dan demo yang dilakukan rutin oleh remaja Tri Sakti adalah
suatu contoh yang sangat kongret. Mengapa demo tersebut sebagai suatu
contoh krisis toleransi? Karena mereka mengorbankan kepentingan orang
banyak untuk kepentingan pribadi. Yang akhirnya mereka berhasil membuat
situasi tidak aman, dan merugikan orang lain, namun tidak mendapat
simpati dari masyarakat. Dan semua solusi untuk bermacam kerusuhan
tersebut adalah berpikir dan berkemauan untuk selalu mencerminkan sikap
saling menghargai dan bertoleransi dalam bermasyarakat dalam kehidupan
sehari-hari.
Namun
toleransi itu sendiri bukanlah suatu hal yang mudah untuk diberikan
begitu saja kepada seseorang dan lantas orang tersebut menjalankannya.
Namun terbentuknya sikap toleransi dalam diri seseorang dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor dan membutuhkan suatu proses yang panjang. Faktor
yang paling utama adalah lingkungan baik internal maupun eksternal.
Karena di dalam lingkungan ini lah ditentukan baik buruknya seseorang.
Sebagai contoh adalah seseorang yang dibesarkan oleh keluarganya sebagai
seorang muslim, maka saat dia dewasa, orang tersebut akan menjadi 90%
muslim. Begitu pula dengan sikap yang lain. Bila orang tersebut
dibesarkan oleh keluarga yang kurang memiliki rasa toleransi terhadap
orang-orang di sekitarnya, maka orang tersebut kemungkinan besar akan
menjadi orang yang kurang bisa bertoleransi dan menghargai orang lain.
Kedua adalah faktor ekonomi orang tersebut. Semakin makmur orang
tersebut, maka semakin besar pula kemungkinan orang tersebut dapat
bertoleransi. Meskipun tidak semua orang mengalami hal ini, namun
kemungkinannya bisa dilihat dari kecemburuan social yang terjadi antara
si miskin dan si kaya. Seperti kerusuhan Mei 98 yang terjadi dengan
mengkambing hitamkan orang-orang minoritas Tiong–Hoa pun terjadi karena
kecemburuan sosial oleh masyarakat pribumi dengan orang-orang Tiong-Hoa
yang diyakini mengontrol perekonomian di Indonesia. Dan faktor terakhir
yang tidak kalah penting adalah tinggi rendahnya tingkat pendidikan
seseorang. Karena semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka
semakin besar pula rasa toleransi yang dimiliki oleh seseorang. Namun
hal ini juga sangat sulit untuk diperoleh karena kurangnya upaya
pemerintah dalam pemberian subsidi pendidikan untuk orang-orang yang
kurang mampu. Dengan tidak adanya pendidikan, maka kemungkinan orang
tersebut untuk bertoleransi juga bisa dipastikan sangat minim.
sumber: http://krisistoleransi.blogspot.co.id/
Komentar
Posting Komentar